Selasa, 15 Juli 2008

Resep Resah Hati

Ayat ke-2, sangat menampar kondisi bangsa kita saat ini. Dikala kita banyak berteriak reformasi tetapi perbuatan sehari-hari masih jauh dari apa yang kita teriakkan. Apa kita tidak sadar sudah begitu parah penyakit yang ada dalam hati kita? Memang urusan hati urusan masing-masing atau boleh dibilang urusan paling pribadi yang orang lain tidak mungkin bisa merubahnya. Cuman hasil dari kontemplasi dalam batin bakalan kelihatan lewat tindak tanduk kita, nah baru disinilah orang lain berperan untuk membetulkan apa yang salah dalam diri kita. Kita cenderung untuk menolak ajakan orang yang mengkritik diri kita ketimbang mengiyakan kritikan itu. Memang ada orang dengan tingkatan tertentu dalam kebersihan hatinya mampu meresapi apa-apa yang orang lain pikirkan. Ya, memang ada. Baru saja kita mampir ke rumahnya entah itu sowan, konsultasi keagamaan atau tukar pikiran .....dia sudah bisa menebak bakalan kemana alur pembicaraan....yang jelas orang tersebut bukanlah orang kebanyakan dari kita. Terus bagaimana tindakan yang harus kita ambil untuk menyikapi kondisi hati komponen bangsa yang sudah akut penyakitnya? Saya punya beberapa analisa sebelum kita masuk ke langkah-langkah teknis penanggulangan.

Pertama: Apa benar orang yang kita asumsikan mempunyai penyakit hati yang kronis 'merasa' bahwa dia sedang sakit? Pertanyaan ini harus kita jawab, caranya dengan melihat, membaca dan mendengar kepribadian dia. Untuk seorang pemimpin besar seperti Gus Dur tentu kita bisa mencari jawabannya. Penyakit ini sangat halus untuk dilihat secara kasat mata namun efeknya amat besar berimbas ke orang lain.

Kedua, sodorkan dengan pernyataan Allah di surat 61:2, seperti yang diatas. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Apa dia/kita sudah merasa beriman? Bagaimana kita tahu tanda-tanda keimanan kita? Seberapa besar iman kita kepada-Nya. Apa kita lupa apa yang selama ini kita cari, mau kemanakah hidup ini diarahkan, untuk siapa kita mau berkorban sedemikian rupa hingga merelakan jiwa dan harta kita?

Tidak ada komentar: